Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Reformasi Peradilan Pidana
 
Fenomena ancaman terhadap saksi bukanlah sekadar wacana. Fakta menunjukkan bahwa posisi saksi tindak pidana sangat rentan terhadap teror dan intimidasi. Hal tersebut juga dialami oleh saksi dalam perannya sebagai whistleblower (saksi pelapor) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum) yang mengungkap dan mendukung terbongkar suatu tindak pidana terorganisir. Istilah whisleblower dan justice collaborator kerap muncul dalam penanganan kasus tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Maka dari itu, sangat penting dan dibutuhkan peran whistleblower dan justice collaborator untuk mengungkap tindak pidana yang lebih besar. Whistleblower dan justice collaborator dalam kesaksiannya merupakan peristiwa faktual, bukan informasi yang bohong atau fitnah. Berangkat dari hal tersebut, muncul ancaman dan teror terhadap mereka sehingga penting diberikannya perlakuan dan perlindungan hukum. Memang, KUHAP belum mengatur mengenai aspek perlindungan bagi saksi. Namun, dalam ketentuan Pasal 4 UU Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

Reformasi peradilan pidana diimplementasikan dengan adanya upaya Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) Dalam Tindak Pidana Tertentu. Latar belakang diterbitkannya aturan tersebut dalam upaya menumbuhkan partisipasi publik guna mengungkap tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada butir kesatu SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tersebut dengan memberikan perlindungan hukum serta perlakuan khusus kepada setiap orang yang mengetahui, melaporkan, dan/atau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani tindak pidana dimaksud secara efektif.

Pada perkembangannya, pengertian, ruang lingkup, perlakuan, dan perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator memanglah belum diatur secara jelas dan rinci dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Meskipun demikian, ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban setidaknya sudah dapat mengakomodasi perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator.

Sehubungan dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) Dalam Tindak Pidana Tertentu. Perlakuan dan Perlindungan Hukum dikaitkan dengan adanya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban juga memberikan perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator berupa:

  1. Perlindungan fisik maupun non-fisik (psikis);
  2. Perlindungan hukum berupa keringanan hukuman;
  3. Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum;
  4. Pemenuhan hak prosedural saksi;
  5. Pertimbangan penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus;
  6. Pertimbangan penjatuhan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud; dan
  7. Pemberian reward bagi whistleblower, pengawasan khusus dalam pemenuhan hak-hak terpidana bagi justice collaborator.

Reformasi peradilan pidana yang sudah ada ataupun yang akan dibuat kedepannya, diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum dan penerapannya harus dilakukan secara maksimal dan efektif oleh pihak terkait, khususnya penegak hukum di Indonesia.