Salah satu prinsip yang dianut dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah mempersulit terjadinya perceraian, karena perkawinan yang dibentuk oleh pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan merupakan lembaga yang luhur dan suci. Akan tetapi, Undang-undang tersebut tidak melarang adanya perceraian asalkan dipenuhi syarat yang secara limitatif ditentukan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Berdasarkan, ketentuan Pasal 38 jo. Ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan jo. Ketentuan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, antara lain menyebutkan: “Perkawinan dapat putus karena perceraian, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri yang disebabkan karena terjadinya cekcok atau pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada harapan untuk dirukunkan kembali”

Pengertian cekcok terus menerus yang tidak dapat didamaikan (Onheelbare Tweespalt) bukanlah ditekankan kepada penyebab cekcok yang harus dibuktikan, akan tetapi melihat dari kenyataan adalah terbukti adanya cekcok terus menerus sehingga tidak dapat didamaikan lagi (Vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 3180K/Pdt.G/1985, dan berdasarkan bukti-bukti dan dikuatkan dengan keterangan saksi-saksi. Saksi-saksi memberikan keterangan dibawah sumpah dengan demikian berdasarkan ketetentuan pasal 1888 KUH Perdata dan ketentuan Pasal 1911 KUH Perdata, sehingga bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi tersebut memiliki kekuatan pembuktian.